Menguak ‘Rekor’ SBY, Tercatat Sebagai Presiden dengan Jumlah Hutang Yang Paling Memprihatinkan

3:44:00 AM


Shareyoutube.space– Mantan Presiden Indonesia ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) boleh membanggakan diri telah melunasi utangnya ke IMF. Namun banyak yang tidak mengetahui bahwa SBY melunasi utang dengan cara berhutang lagi yang nilainya jauh lebih besar daripada utang yang dilunasinya untuk menutupi hutang sebelumnya.

Alhasil, SBY pensiun dengan meninggalkan beban utang untuk rakyat yang mesti dibayar kurang lebih Rp 11 juta per-kepala, termasuk bayi yang baru lahir. Secara umum, ada tiga warisan utang yang ditinggalkan SBY kepada pemerintahan Jokowi-JK.

1. Utang karena defisit perdagangan yang disebabkan selama ini Indonesia mengandalkan impor ketimbang ekspor.
2. Defisit transaksi berjalan karena pemerintahan SBY lebih banyak mengeluarkan uang daripada memasukkan uang ke negara.
3. Defisit APBN mengingat anggaran pendapatan dan belanja tersebut dibiayai dari utang luar negeri.



SBY bisa saja mengelak bahwa jumlah utang pemerintah Indonesia terus bertambah besar karena pertama nilai mata uang rupiah terhadap mata uang asing terutama dolar Amerika Serikat terus melemah.

SBY bisa saja menjelaskan semua utang baru itu untuk menutup defisit anggaran. Memang dari tahun ke tahun selalu ada peningkatan jumlah APBN, tetapi peningkatan jumlah APBN itu paralel pula dengan peningkatan utang pemerintah Indonesia dan tidak meningkat kesejahteraan dari sebagian besar rakyat Indonesia.

Dramatis Peningkatan Utang SBY

Di Masa Presiden SBY APBN Indonesia di era Orde Reformasi, telah meningkat jumlahnya sekitar lima belas kali dibanding APBN pada akhir Orde Baru. Pada saat yang sama, meningkat pula utang pemerintah Indonesia yang mencapai lebih dari 300 persen dibanding utang di masa Orde Baru.

Peningkatan jumlah utang terjadi secara dramatis di masa pemerintahan Presiden SBY.
Selama 9 (sembilan) tahun masa pemerintahan SBY dari 2005-2013, total utang yang dilakukan pemerintahannya sebesar Rp 1.496,12 triliun dengan perincian:

Tahun 2005: Rp 1.313,5 triliun (47%)
Tahun 2006: Rp 1.302,16 triliun (39%)
Tahun 2007: Rp 1.389,41 triliun (35%)
Tahun 2008: Rp 1.636,74 triliun (33%)
Tahun 2009: Rp 1.590,66 triliun (28%)
Tahun 2010: Rp 1.676,15 triliun (26%)
Tahun 2011: Rp 1.803,49 triliun (25%)
Tahun 2012: Rp 1.975,42 triliun (27,3%)
September 2013: Rp 2.273,76 triliun (27,5%)

Tercatat Rp 207 triliun utang negara akan jatuh tempo pada 2014. Utang jatuh tempo itu terdiri atas Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 143 triliun atau setara dengan 69%, dan sisanya berasal dari pinjaman sebesar Rp 64 triliun atau 31%. (Sumber: Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan Republik Indonesia, yang dikutip DetikFinance, 28/10/2013).

Presiden SBY sudah menyampaikan postur RAPBN 2015 pada 15 Agustus 2014 dengan memasukkan total pendapatan negara mencapai Rp 1.762,3 triliun, terdiri atas penerimaan perpajakan Rp 1.370,8 triliun, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp 388 triliun, dan penerimaan hibah Rp 3,4 triliun.

Adapun total belanja negara mencapai Rp2.019,9 triliun, terdiri atas :
– Belanja pemerintah pusat Rp 1.379,9 triliun.
– Transfer ke daerah dan dana desa Rp 640 triliun.

Sementara itu, defisit anggaran dalam RAPBN 2015 sebesar Rp 257,6 triliun atau 2,32% terhadap PDB, turun dari defisit APBNP 2014 yang sebesar 2,4% terhadap PDB. RAPBN 2015 mengalokasikan pembayaran bunga utang Rp 154 triliun.

Dengan kata lain, RAPBN 2015 pun masih bersifat besar pasak daripada tiang. SBY juga mewariskan utang yang harus dibayar oleh pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebesar Rp 108 triliun. Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Andin Hadiyanto, mengatakan utang sebesar itu akan jatuh tempo pada 2015. Artinya, pemerintahan SBY secara otomatis membebankan utang tersebut ke pemerintahan yang baru.

Tidak Tepat Sasaran

Sejatinya kalau APBN meningkat dan utang meningkat dalam jumlah yang luar biasa besar, rakyat makin sejahtera, kehidupan rakyat semakin bertambah baik.

Faktanya, rakyat masih susah dan terpinggirkan hingga pemerintahan berganti masih menanggung kesengsaraannya itu. Mayoritas rakyat Indonesia masih miskin, kurang pendidikan dan tertinggal.

“Rezim SBY melakukan PENCITRAAN dengan peningkatan APBN yang ditopang dengan utang namun TIDAK TEPAT SASARAN untuk membangun ekonomi yang berkeadilan berdasarkan Pembukaan UUD 1945 dan Pancasila”

Rezim SBY melakukan “pencitraan” melakukan kebijakan yang hasilnya tidak memberi manfaat nyata bagi kemajuan rakyat jelata, justru semakin memperkaya mereka yang sudah kaya dan maju.

Rezim SBY mempertahankan banyak kementerian dan lembaga negara yang didirikan, serta pembentukan daerah baru seperti kabupaten, kota dan provinsi, sehingga banyak menghabiskan anggaran belanja. Selain itu, pemerintah tidak hidup sederhana, hemat dan efektif dalam menggunakan anggaran belanja negara, dan terus menambah jumlah pegawai, sehingga anggaran belanja negara banyak terkuras untuk membayar belanja pegawai.
Akhirnya beban negara untuk membayar cicilan utang pokok dan bunga sangat besar dan terus meningkat jumlahnya.

Sebagai gambaran :
Tahun 2010
– Cicilan utang pokok Rp 124,68 triliun
– Cicilan bunga Rp 105,65 triliun,
Total cicilan utang pokok dan bunga Rp 230,33 triliun
Tahun 2011
– Cicilan utang pokok Rp 141 triliun
– Cicilan bunga Rp 106 triliun Total
Total cicilan utang pokok dan bunga Rp 247 triliun
Tahun 2012
– Cicilan utang pokok Rp 139 triliun
– Cicilan bunga Rp 122,13 triliun
Total cicilan utang pokok dan bunga Rp 261,13 triliun
Tahun 2013
– Cicilan utang pokok Rp 160,421 triliun
– Cicilan bunga Rp 111,798 triliun
Total cicilan utang pokok dan bunga Rp 272,219 triliun
Tahun 2014 (periode Januari-Agustus 2014 )
– Cicilan utang pokok Rp Rp 156,751 triliun
– Cicilan bunga Rp 86,199 triliun.
Total cicilan utang pokok dan bunga Rp 242,95
(Dikutip dari data Kementerian Keuangan, Jumat, 19/9/2014)

Per Juni 2014, rasio utang luar negeri terhadap produk domestik bruto (PDB) meningkat dari 32,33% pada kuartal I-2014 menjadi 33,86%. Sementara debt service ratio (DSR), yaitu rasio total pembayaran pokok dan bunga utang luar negeri terhadap total penerimaan transaksi berjalan, meningkat dari 46,42% pada kuartal sebelumnya menjadi 48,28% pada Juni 2014.
Saat ini DSR Indonesia berada di kisaran 45%-47%, sementara data Bank Indonesia (BI) menyebut bahwa DSR pada kuartal pertama 2014 mencapai 46,31%, atau naik dari Oktober-Desember 2013 sebesar 43,38%. Angka itu sudah melampaui ambang batas DSR yang harus diwaspadai berdasarkan kesepakatan internasional, yakni 44%. Semakin tinggi DSR berarti semakin berisiko keuangan suatu negara. Batas aman DSR suatu negara adalah 20%.

Bila dibandingkan dengan negara-negara lain, termasuk negara tetangga, rasio utang Indonesia tergolong sangat tinggi, yakni 36% dari PDB. Kita bisa membandingkan dengan Malaysia dan Turki yang hanya 29%, Filipina dan Brasil 21%, atau India yang ‘’hanya’’ 5%. (Sumber : Drs KP H Sumaryoto Padmodiningrat, mantan anggota Komisi XI (Bidang Keuangan) DPR)

Piye, Penak Zamanku To?

Mungkin Anda masih ingat dengan maraknya gambar Pak Harto (Presiden Soeharto) yang dibuat meme dengan kalimat : “Piye, penak zamanku to?”

Begitulah fenomena rakyat jelata merindukan Presiden Soeharto di rezim SBY lalu, sangat berkaitan erat dengan kesulitan hidup yang dialami rakyat jelata akibat harga sembako tidak terjangkau harganya oleh rakyat jelata.

Artinya, Kenaikan harga sembako dan semua jenis barang tidak disertai dengan meningkatnya pendapatan rakyat jelata, sehingga mereka merasakan meningkatnya kesulitan hidup yang dialami. Dalam lima tahun terakhir rezim SBY sembilan bahan pokok (sembako) telah meningkat harganya sekitar 60 persen, yang berarti harga sembako mengalami kenaikan harga setiap tahun sebesar 12 persen. (Sumber : Ekonom Dr. Hendri Saparini).

Hal itu terjadi karena kegagalan pemerintahan Presiden SBY dalam politik sembako dan puncak kekecewaan rakyat jelata mereka pun kemudian mengenang masa pemerintahan Presiden Soeharto, walaupun tidak ada kebebasan, dan dianggap kejam serta otoriter dalam menjalankan pemerintahan, tetapi harga sembako murah dan terjangkau harganya oleh rakyat jelata.

SBY Prihatin

Kesimpulannya, SBY yang sering mengatakan PRIHATIN itu akhirnya memang berakhir dengan sangat memprihatinkan bahkan bisa jadi SBY akan tercatat sebagai presiden dengan jumlah utang paling memprihatinkan, hampir menyamai utangnya Presiden Soeharto YANG berkuasa 32 tahun itu.

Akhirnya meningkatnya utang pemerintah Indonesia yang luar biasa besar dari tahun ke tahun, tidak memberi manfaat nyata bagi peningkatan kesejahteraan seluruh bangsa Indonesia. Walau Tim Ekonomi SBY dianggap sangat AHLI nyatanya hanya bisa membangun dari hasil utang bukan berpikir bagaimana caranya membayar Hutang.

Kita harapkan pemerintahan Jokowi-JK mampu mewujudkan “Indonesia Raya” yang maju, bersatu, adil dan makmur seperti tujuan Indonesia merdeka yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 dan Pancasila, dan tidak mengulangi cara rezim sebelumnya, utang banyak hanya dibuang untuk subsidi dan dikorupsi tanpa ada hasil pembangunannya yang bermanfaat jangka panjang untuk rakyat.

Penulis: Stefanus Toni Aka (*)
Previous
Next Post »
0 Komentar